Sengketa Unit Link Harus Diselesaikan per Kasus
Sengketa mengenai produk unit link di tiga perusahaan asuransi jiwa perlu diselesaikan secara kasus per kasus dan bukan kolektif, sehingga permasalahan sebenarnya bisa terdeteksi dan mencapai titik temu. Oleh karena itu, perlu dilakukan mediasi ulang dengan fokus menyelesaikan permasalahan.
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menyampaikan, mediasi yang dilakukan pada Rabu (12/1), perusahaan asuransi menyampaikan opsi penyelesaian. Namun kelompok nasabah menolak penawaran pengembalian 50%, padahal ada sejumlah nasabah lainnya dikembalikan secara penuh.
“Masalahnya ada yang sudah menerima pengembalian 100%, sedangkan kelompok ini belum menerima pengembalian dana penuh. Memang ada indikasi tebang pilih, tapi kalau ditelusuri ini juga ada masalah komunikasi. Sebab, komunikasi yang dilakukan kelompok ini sangat frontal sehingga pihak asuransi lebih defensif,” kata Irvan kepada Investor Daily, Minggu (16/1)
Dia mengungkapkan, permasalahan komunikasi itu perlu diselesaikan melalui adanya mediasi ulang. Kelompok korban harus bisa lebih mendengarkan.
Sebaliknya, perusahaan asuransi tidak ngotot hanya mengembalikan 50% karena sebelumnya ada juga nasabah yang dikembalikan penuh.
“Titik temu ini tentu harus melalui mediasi. Nasabah harus bisa mendengar, dan perusahaan asuransi pun harus bisa mendengar. Mereka harus bertemu melalui proses mediasi ulang, sebelum ke proses lanjutan yaitu external dispute resolution yang dilakukan LAPS OJK,” jelas dia.
Menurut Irvan, gagalnya mediasi yang sempat terselenggara pada pekan lalu karena masing-masing pihak hanya menyampaikan aspirasi tanpa melihat tujuan sebenarnya, yaitu mencapai titik temu penyelesaian permasalahan. Perusahaan asuransi tidak mengakui adanya kesalahan agen, sedangkan nasabah kukuh minta pengembalian penuh tanpa bukti yang kuat kalau ada kesalahan agen dalam pemasaran produk unit link mereka.
Dia menjelaskan, ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jelas menyebutkan bahwa jika agen bersalah, perusahaan asuransi harus bertanggung jawab penuh, termasuk mengganti dana nasabah.
“Tapi nasabah juga harus bisa membuktikan kalau memang agen sudah melakukan perbuatan yang tidak sesuai, misalnya menyembunyikan fakta, memalsukan tanda tangan, dan sebagainya,” kata dia.
Dengan demikian, sambung Irvan, deteksi permasalahan yang ada harus dilakukan per kasus, bukan secara kolektif seperti pendekatan nasabah saat ini. Pendekatan nasabah secara kelompok akan sulit membuktikan bahwa agenlah yang melakukan kesalahan pemasaran (misselling). Pendekatan per kasus atau perorangan ini terbukti berhasil, tercermin dari pengembalian penuh pada beberapa nasabah sebelumnya.
“Yang berhasil refund penuh itu kan diselesaikan perorangan. Kalau dilakukan secara perorangan sesuai dengan masing-masing kontrak polisnya dan bisa membuktikan adanya kesalahan agen, tentu perusahaan asuransi mendengar, lalu mau membayarkan penuh. Pada intinya, kelompok ini harus mundur karena permasalahan ini tidak bisaditempuh secara kolektif,” beber Irvan.
Dia juga menilai, perusahaan asuransi mesti transparan dan membantu menelusuri agen-agen yang bermasalah untuk melakukan verifikasi. Karena kelompok nasabah yang meminta pengembalian dana penuh ini merasa bahwa agen yang menawarkan telah melanggar hukum.
“Nasabah tidak bisa menerima (pengembalian 50%) itu karena mereka melihat praktik penjualan unit link, dalam kasus ini ada unsur misselling atau ada penipuan. Dimulai dari tanda tangan, tidak adanya transparansi, dan sebagainya yang dianggap menyalahi aturan OJK maupun undang-undang (UU),” jelas Irvan.
Peran Asosiasi
Dia menambahkan, penyelesaian perlu dukungan berbagai pihak, termasuk OJK untuk kembali berkenan memfasilitasi sengketa melalui mediasi. Terlepas dari hal itu, pihak asosiasi yakni Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) harus berperan aktif menertibkan para agen bermasalah sebagai pihak yang menerbitkan sertifikasi agen.
“Karena akan percuma kalau perusahaan asuransi melakukan penindakan terhadap agen bermasalah, sedangkan hal yang sama tidak dilakukan oleh asosiasi. Ini juga ditujukan untuk pembenahan secara menyeluruh. Selama ini kan asosiasi juga memberikan penghargaan kepada para agen berprestasi, tapi kurang terlihat kalau mereka juga melakukan hukuman atau tindakan terhadap para agen bermasalah,” tandas Irvan.
Di sisi lain, kelompok nasabah yang mengaku korban asuransi unit link masih mengupayakan dananya bisa dikembalikan penuh dengan bertahan di masing-masing kantor perusahaan asuransi penerbit polis mereka. Hal itu tentu tidak membuahkan hasil dan bahkan bisa menimbulkan masalah lanjutan. Apalagi kabarnya pihak perusahaan asuransi mengambil jalur hokum untuk menertibkan sikap nasabah itu. Sayangnya, permasalahan utama bukan terselesaikan tapi timbul masalah baru.
Sebelumnya, tiga perusahaan asuransi yakni AIA Financial, AXA Mandiri, dan Prudential Indonesia menyatakan sikapnya atas tuntutan nasabah. Mereka kompak menyatakan berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan melalui ruang diskusi untuk mencapai titik temu.
Sumber: Investor Daily